Rabu, 22 Mei 2013

Belajar dari Si Hari Sabtu


Belajar dari Si Hari Sabtu




                Minggu lalu seorang teman meminjamkan saya dua buku kumpulan cerpen. Salah satunya adalah Menuju(h). Buku inilah yang akan saya angkat di sini. Bukan seperti tinjauan buku-buku lainnya, saya hanya ingin membagi amanat yang saya dapatkan dari dua cerita yang terselip di dalamnya.
                Cerita-cerita itu ialah “Ke Mana Sabtu Pergi” dan “Ke Sana Sabtu Pergi” karya Sundea. Ya, sesuai namanya, kedua cerita ini sama-sama berkutat dengan hari Sabtu. Selain cerita ini, cerita-cerita lainnya juga cukup menarik untuk dibaca. Lalu kenapa saya mengangkat karya Sundea ini?  Karena dua tokohnya yakni Sabtu dan Bayang-Bayang yang begitu menarik minat saya. Mereka juga menyiratkan sebuah pesan yang menurut saya memang perlu untuk dibagikan.
                Di dalam cerita ini, Sabtu, seperti yang kita tahu adalah hari ke-6 dalam seminggu. Sabtu dikenalkan sebagai hari yang tengil, santai, dan beraroma liburan—sesuai dengan kenyataan yang kita rasakan. Ia menyerupai diri kita, terkadang tidak menyadari bahwa dirinya berperan penting bagi kelangsungan hidup ini. Sabtu pun menyamar menjadi sosok yang lain. Sekali ini Sabtu ingin berhenti sementara menjadi hari dan mulai menikmati hari.
                Di sepanjang kehidupannya sebagai sosok yang lain itu Sabtu terus diikuti oleh tokoh lainnya, Bayang-bayang. Bayang-bayang yang gelap dan melambangkan segala keburukan, baik itu terlihat dan tidak terlihat. Bayang-bayang selalu mencari celah untuk memberikan keragu-raguan, ketakutan, dan kebencian kepada Sabtu yang tengil. Namun Sabtu mengabaikannya hingga satu saat seorang gadis kecil mengambilnya karena mengira ia adalah sabut kelapa ajaib.
                Gadis itu membawanya dan berharap Sabtu dalam sosok yang lain itu  bisa menjadi jimat pembawa keberuntungan untuk abangnya yang akan berlomba layang-layang di keesokan harinya, hari yang seharusnya adalah Sabtu. Hari itu mungkin tidak akan pernah ada, karena Sabtu sudah memutuskan untuk tidak lagi menjadi hari. Di saat itulah bayang-bayang memanfaatkan waktu untuk menakut-nakuti Sabtu dengan mengatakan bahwa Sabtu akan menyesal selamanya karena telah mengacaukan waktu. Lain dengan usaha-usahanya yang sudah-sudah, saat ini bisikan bayang-bayang mampu merasuki pikiran Sabtu.
                Apa yang setelah itu Sabtu lakukan? Merasa terhantui? Tidak. Sabtu menghilang dari wujudnya sebagai sabut kelapa dan kembali pada deretan hari yang telah lama cemas menunggu kedatangannya kembali.
                Teman-teman, sadarkah kita kalau selama ini hidup kita terlalu dikendalikan oleh bayang-bayang? Kita terlalu takut dengan ini dan itu dalam mengambil tindakan. Kita merasa diri kita tidak cukup baik, merasa terintimidasi dengan hal-hal yang sebenarnya tidak mengganggu sama sekali, dan parahnya lagi, kita justru melakukan banyak hal tidak berguna berkaitan dengan keragu-raguan yang memang hanya BAYANG-BAYANG.
                Kita kalah dengan Sabtu yang dinilai tengil dan santai. Sabtu tahu mana ketakutan yang masih berupa angan dan mana yang nyata. Bahkan ketika bayang-bayang mencekokinya dengan mengatakan dia akan menyesal seumur hidup, Sabtu mengatasinya dengan melakukan tindakan. Dia membuktikan bahwa sesuatu tidak seharusnya hanya berakhir pada perasaan menyesal. Penyesalan seharusnya diikuti dengan tindakan untuk memperbaiki keadaan.
                Seorang teman saya pernah berkata “kamu tuh jangan mikir lima langkah ke depan. Cukup pikirin satu langkah dan jalan! Setelah kamu jalan, kamu akan tahu jalan mana yang harus kamu ambil berikutnya.” Sekarang saya mengerti maksud teman saya. Resiko tentu selalu ada. Tetapi, dengan berjalan maju ke depan, saya akan lebih dekat dengan tujuan saya dan semakin tahu apa yang harus saya perbuat.
                Mulai sekarang, mari kita pun bersama-sama menjadi manusia yang lebih optimis lagi. Menjadi pribadi yang tidak takut menjalankan mimpi masing-masing. Boleh saja merencanakan keuntungan dan kerugian yang akan datang, tapi ingat, perjalanan tidak akan dimulai jika kita hanya terus merencanakan tanpa menjalankannya. Untuk yang sebentar lagi tes masuk universitas, yang mau membuka usaha, atau siapa pun yang merasa ragu-ragu dengan tekadnya meneruskan mimpi, mulailah berjalan. Jalan kita masih panjang, teman! Sayang banget, kan, kalau kita menunda perjalanan dan melewatkan kesempatan yang lagi menunggu kita di depan sana? Apa juga jadinya kalau nantinya tidak mempunyai cukup waktu untuk bagian terbaiknya?
                Untuk cerita lengkapnya, ya…bukan kewenangan saya bercerita, jadi silahkan membaca sendiri (gak niat ngiklan, serius!). Tapi yang jelas, dengan note ini, saya pun akhirnya melakukan hal yang lama saya ingin lakukan. Berbagi cerita dan menginspirasi. Siap mulai  untuk giliranmu? ;)

Go Go Power rangers!!
-Gee

Selasa, 21 Mei 2013

The Circle of Lie


          Kamu tau film Death Note? Salah satu pemerannya adalah Tatsuya Fujiwara. Tatsuya Fujiwara memerankan tokoh Light Yagami yang cerdas, idealis, dan…menyeramkan. Beberapa hari yang lalu saya melihatnya di sebuah film yang ditonton kedua adik saya dan saya pun tertarik untuk menontonnya. Karena film itu sudah berjalan lebih dari setengahnya, saya memesan film tersebut di TV kabel langganan saya.
          Film itu adalah Paredo. Dari synopsisnya tergambar bahwa film tersebut adalah sebuah film misteri, namun ketika saya menonton, semuanya tampak baik dan biasa pada awalnya. Hidup lima orang dengan latar belakang yang berbeda di satu flat (semacam kamar di apartemen/rumah susun) yang tidak pernah benar-benar hidup bersama. Mereka hidup di satu tempat yang sama, memang, tapi tidak pernah benar-benar peduli dengan masalah hidup yang sebenarnya antara satu sama lain.
          Beberapa masalah yang datang di rumah itu membuat mereka akhirnya mau tidak mau “bangun” dari kondisi itu dan acuh tidak acuh menghadapinya bersama. Masalah-masalah bersama itu dimulai dari dugaan mereka bahwa flat di samping mereka adalah rumah bordil, terjadinya tindak kekerasan berantai di sekitar flat mereka, juga datangnya “pria penghibur pria” yang secara misterius ada dan akhirnya ikut tinggal di flat mereka. Satu demi satu cerita pun disuguhkan dalam film ini dan menguak sedikit demi sedikit misteri.
          Dari semua penggalan peristiwa yang dihadirkan, terlihat jelas bahwa sesungguhnya sejak awal mereka sudah tahu dan mengerti hidup masing-masing dari teman satu flatnya itu. Namun mereka memilih untuk mengabaikannya dan pura-pura tidak tahu untuk kenyamanan bersama. Ya, mereka tidak ingin terlibat dalam masalah teman mereka. Mereka hanya ingin mereka sama-sama nyaman dan damai sehingga tidak saling mengusik. Salah satu dari mereka sempat mengibaratkan flat mereka sebagai internet cafĂ© atau chat room di mana mereka bisa datang untuk menyenangkan diri (meski harus menghindar dari kenyataan) dan keluar ke dunia nyata kapan pun mereka mau.
          Hmm… Sejujurnya cerita ini membuat perut saya sakit. Entah karena ceritanya konyol atau karena saya juga ingin menyangkal dari kenyataan bahwa ini juga hal yang sangat sering terjadi di era kita? Menyeramkan. Sekaligus menyedihkan. Tekanan hidup bertambah seiring dengan zaman yang ada. Hal baik dan buruk kita lihat, dengar, atau rasakan baik secara langsung maupun dengan segala teknologi informasi dan komunikasi yang ada. Dengan segala kemudahan transportasi, komunikasi, serta teknologi lainnya, kita dapat dengan mudahnya bertemu banyak orang. Tapi apakah kita benar-benar megenalnya?
          Ironisnya, doktrin untuk menjadi orang yang baik yang diberikan lewat film atau lagu yang mengharukan membuat kita mengutuki hidup kita. Seringkali itu membuat kita membandingkan hidup kita yang jauh lebih buruk dengan apa yang kita saksikan dan malu akan itu. Pada akhirnya kita menganggap masalah adalah suatu aib yang seharusnya hanya kita yang tau. Kita lalu mencari teman untuk sekedar bersenang-senang dan melupakan masalah kita, bukannya benar-benar menyelesaikannya. Kita hanya bersembunyi. Kita berbohong. Bersama dengan teman yang sama “sakit”-nya dengan kita, kita menolak realita dan sejenak ingin merasakan kedamaian.
          Semuanya tentu saja semu. Palsu. Setiap hari kita tertawa bersama saat mata membuka, lalu tidur dengan mimpi buruk dan kegelisahan yang sama. Semakin realitanya buruk, semakin banyak kegelisahan yang muncul., semakin keras juga tertawa yang kita jadikan topeng saat bertemu wajah-wajah asing yang pura-pura kita kenal. Bukankah itu lebih menyakitkan? Terus menutupi kebohongan dengan kebohongan lainnya. Bahagia yang semu setelah gelisah di malam yang membuatmu jemu dan begitu seterusnya. Lingkaran setan yang paling mengerikan. Apakah kita mau terus-menerus hidup di dalam lingkaran kebohongan yang sama?
          Seseorang pernah berkata kepada saya, masalah yang paling menganggumu dan menurutmu paling rahasia, sesungguhnya adalah masalah yang paling umum, hanya saja kebanyakan orang lebih memilih untuk menutupinya. Jadi, siapa pun kamu, kamu tidak seburuk yang kamu kira. Selalu ada jalan untuk keluar ketika kamu siap untuk memotong garis pada lingkaranmu dan menjadikan itu sebagai satu garis lurus yang memiliki sebuah akhir. Berjalan maju dalam satu garis menuju suatu titik adalah satu pilihan. Apapun ujungnya, bukankah lebih baik jujur pada diri sendiri dan meninggalkan sakit yang sama setelah sekian lama?

Untuk semua manusia yang hidup

Gemmagyh^ ^