Kamis, 15 Desember 2016

What Happens In Bali Stays For Good

What happens in Bali stays in Bali they say.

But really?
The last thing I remember is that I brought home lots of memories after I got back from Bali. I made friends, learned so many lessons, and had some cultural exchange. Everything was just so fun and fine. Too good to stay only in Bali. Right now I still save it all in my mind and my heart.
So what happen there? Basically I did a workshop held by my campus, LSPR. This workshop is about Corporate Social Responsibility (CSR) program. We did it together with students and lecturers from University of Technology Mara (UiTM) Malaysia. They also shared some of they experience working on a CSR Program.
It was a five day program, but we only have the real workshop for two days. We started our trip from Bandara Soekarno Hatta on the dawn. I still remember how all students grumbling about their suitcase while I just bring one big backpack, LOL. There are only two people who only bring one backpack and it was me and Ali. Cool aren’t I? :P
Right after we arrived we went to hotel and had some lunch before we checked out. Talking about the hotel, it was nice! Such a small 4 star boutique hotel named Grand Ixora. The pool is pretty and the ambience is just so fine. I like the smell and the music they play on their lobby and restaurant. Hmm, like it like it!

On our first day we got invited to a welcome dinner on Jimbaran. When we arrived, we took some photos, enjoying the sunset untill we got our dinner. You know what food that would be, right? Yes, SEAFOOD!!! I ate for like 3 times – litteraly. Even a friend of mine who had commited to do a diet (she’s a model, so yeah…) ate as much as I do A_____A

There I started to make friends with the UiTM students. Honestly, they are much better than I thought they will be. They showed their interest about Indonesia and it was such a pleasure to tall them stories about this country. We also had some chit-chat about our personal and professional stories. There were live music so we sang along together and dance from our seat. Such a great night in Jimabaran!


The next day was our free time. UiTM students and LSPR student went into two seperate ways. We both started by going to the Ubud but then LSPR students continue to Sunday Beach Club. Oh my God! The beach club are beyind my exoectation. Seriously guys, you have to see those pictures.
Yes, we went down from the climb to the beach using that cool lift – Idk how to call it. And the beach is just so pweety! We all had pur own towel and beach seat. We really enjoywd our time there. Playing on the beach, taking pictures, untill gathering around the bon fire. Can you imagine? :3
The free days were over so we continued with the workshop on Monday. I personally thought that I would be sleepy during the class since I spent the day before with lots of lots of energy. But well, surprisingly I enjoyed the seminar and discussion. It was all about CSR, of course, but it taught me a deeper understanding about the practice of it.
The first lecturer that I got was Ms. Kiki. She talked about digital media as a perfect way to cover and publish our CSR story. After that we had two lecturers from UiTM shared about CSR role in university and way to handle crisis in CSR with management.

We then watched the UiTM students presented their past CSR Project. It’s called Keeping Up with Orang Asli. The did it on Taman Botani Negara Shah Alam. I honestly think that their CSR program was great! Seriously, you guys have to hear how they did it in three months from the research untill the evaluation. They even made three sub-program with different concern. Go find their campaign, it could be a good reference for university CSR program. The next we got our certificate. It was an awarding day.


We continued the day by going to Seminyak. On the way to Seminyak we stopped by several places. I personally went to Nasi Babi Pal Wayan. The UiTM students went to the Gusto Gelato. They like it, hahah^ ^ They told us how cheap Gusto Gelato is. In Malaysia there is no such a cheap gelato, they said. We were so glad that they like pur recommendation. Some of my friends also went to Flinstone to buy cute watermelon bread.
At Seminyak some students enjoying Ku De Ta. Most of UiTM studenta went around to go to shop. Some other UiTM and LSPR students include in me played aroung Petiteteng Beach. Whoaaah… It was so refreshing. The wheather was cloudy but the view was so nice. We took lots of great photos. Yippie!

At Petititeteng we also got the chance to see native Balinese doing their ritual by going into the water and pray together after. Yes, the beach was located near a Vihara. Our UiTM students were really excites to watch that. So again, we were happy that we like our place recommendation. Hihi…
On the night some of us “mandi kolam”. Heheheh, it is Malaysia’s word for swimming :P Not just that word, we learned lots of their language while they were around. Every word just spunds so funny so we could not help laughing. Luckily the UiTM students don’t mind, I think they know that we like their language and accent. They were so friendly and nice. We had great time together. We even play truth or dare together! :))
The next day was the last day. Hufty… So sad! Emir, one of UiTM students, followed me to buy Pia Legong. He just joined us so that we could have more chit-chat before we had to go.

The rest of story….. You know, we went home and we still talked about it. We exchange our contact and we had a group for UiTM and LSPR students together. Yeay!!! I reaaaaally happy that I joined the workshop. I’m quite sure that this ezperience will always remain as a good memory inside of my heart.
See you Bali! See you my UiTM friends!
‘Till we meet again…
Jakarta, 16 December 2016
GemmaGYH

Kamis, 01 Januari 2015

Tentang Perubahan dan Kedewasaan

     Everyone changes, and everyone want to be understood by others.
     Betapa ironi. Sayangnya hampir semua orang berpikir bahwa di kisahnya masing-masing mereka sudah berjalan begitu jauh dengan perubahan yang ada padanya. Sebagai individu mereka pun berpikir karena satu peristiwa-hanya-dia-yang-rasakan, dia menjadi begitu berbeda, tak bisa dimengerti. Seperti peran utama dalam sebuah film. Cerita dimana peran pembantu juga figuran lainnya hanya berputar dalam lingkaran yang sama, sedangkan plot hidupnya keluar dari jalur lingkaran yang memutus membentuk lajur roller coaster.
     Tapi tidak begitu kenyataannya. Cerita yang bagus sekalipun menampilkan bagaimana semuanya selalu berubah, bahkan dalam diri pemeran pembantu dan figuran sekali pun. Karena kita adalah mahluk yang hidup, diri kita akan selalu dinamis, tidak pernah berhenti begitu saja. Justru jika ada seseorang yang menyalahkan orang lainnya karena jadi berubah, seseorang itu pasti sudah tumpul akalnya, dia menetap untuk hidup dalam bayangan. Ilusi akan waktu yang telah lalu.
     Kita, bagaimana pun, tetap tidak bisa memaksakan orang-orang lainnya untuk memahami setiap perubahan dalam diri kita. Mereka, sebagaimana kita dalam hidup yang kita jalani, adalah pemeran utama atas kisahnya masing-masing. Mereka, sebagaimana kita mengalami kisah-kisah yang mengubah kita, telah berubah dengan kisahnya yang tidak mungkin bisa kita mengerti begitu saja.
     Bahkan menjadi dewasa sendiri, menurutku, bukan tentang mengalami dan memahami lebih dulu hal-hal yang belum dialami orang-orang seumurannya. Dewasa adalah ketika seseorang bisa menyadari bahwa...semuanya dapat berubah. Menyadari bahwa semuanya dapat terjadi terhadap apa pun dan siapa pun, termasuk dirinya, lalu menerimanya dengan lapang dan melanjutkan hidup dengan kenyataan yang ada.
     Baru sekitar 34 jam 2 menit yang lalu tahun berganti. Bicara tentang perubahan dan kedewasaan yang ternyata saling berkaitan, aku pun menyiapkan batin untuk menghadapi segalanya. Kusiapkan diriku menyambut perubahan. Aku tau, bahwa hanya dengan menerima perubahan, aku mampu meraih kedewasaan.
     Selamat menjalani tahun yang baru! Selamat meraih percik cahaya yang baru!

foto oleh GemmaGYH
Kecup tahun baru,

GemmaGYH^ ^


Selasa, 30 Desember 2014

KREATIF > Kere dan Aktif

Mama emang selalu ada-ada aja. Berhubung masa mudanya yang dilalui di kota gaul, kota Jekardah tercinta ini, mama selalu aja tau bahasa slang yang dia tau. Entah itu slang tingkat nasional atau pun lokal. Hahaha... Gak cuma kata-kata slang, mama--papa juga, sih--suka banget mencari-cari atau mengingat kepanjangan yang kira-kira adalah asal sebuah kata, salah satunya kata "kreatif".

Kreatif, berdasarkan KBBI kata ini:
kreatif /kre·a·tif/ /krĂ©atif/ a 1 memiliki daya cipta; memiliki kemampuan untuk menciptakan; 2 bersifat (mengandung) daya cipta: pekerjaan yg -- menghendaki kecerdasan dan imajinasi;

Memaaang, definisi dari terminologi "kreatif" sendiri sesuai dengan penjabaran di KBBI, tapi... Mama dengan pemikiran cerdasnya memegang penglihatan lebih tentang kata ini. Singkatnya, entah dari orang lain maupun dirinya sendiri, penafsiran itu bisa dirangkum dengan analogi "Kere dan Aktif" yang baginya bisa saja kepanjangan dan asal kata dari kata "kreatif" itu sendiri.

Kenapa Kere dan Aktif? Kere yang biasa kita tau sebagai bahasa lain miskin gak cuma ditujukan bagi orang yang gak punya uang, melainkan orang dengan keterbatasan. Mereka yang memiliki keterbatasan dalam suatu hal pastinya akan sulit dalam memenuhi beberapa hal yang diinginkannya. Itu bisa aja diatasi selama orang tersebut mau secara aktif mencari jalan keluarnya. Dengan begitu, dia melakukan tindakan aktifnya sebagai orang kere yang biasa kita sebut sebagai tindakan kreatif. Adapun pemikiran yang juga muncul dari keinginan orang yang ingin aktif menangani keterbatasan atau kekereannya disebut sebagai pemikiran kreatif.

Analogi yang aku sering dengar sejak kecil pun membuatku selalu ingat satu hal, keterbatasan harusnya mengasah. Ya, mengasah pemikiran kita untuk mampu berpikir dan berlaku dengan cara yang berbeda. Dengan punya analogi kere dan aktif ini pun aku benar-benar optimis menghadapi segala keterbatasan yang ada padaku terutama ketika itu dihadapkan pada keinginanku mendapatkan sesuatu.

Kuncinya memaksimalkan segala yang dimiliki. Biasanya mereka yang sadar mereka memiliki sedikit hal akan lebih peduli lagi dengan apa yang dimilikinya itu, entah bentuknya materi atau bukan, dia pasti akan berusaha selalu menjaganya. Orang itu tau kalau dirinya akan lebih sering menggunakannya ketimbang orang lain, memaksimalkan fungsi yang ada sehingga bisa dipakainya untuk mendapatkan hal yang dia inginkan.

Semuanya hanya bisa dilakukan kalau kita menyadari dan menerima keterbatasan kita dan rela aktif untuk tetap bisa mendapatkan hal yang setara seperti yang orang lain dapatkan. Percuma, kan, kalau kita kere tapi gak sadar diri. Yang ada akan selalu mengeluh minta ini dan itu. Alhasil, kita pun jadi abai sama apa yang sudah kita punya, mengandalkan sesuatu yang belum kita miliki. Tapi sama saja hasilnya kalau kita sadar kita kere, tapi tidak mau aktif. Perasaan rendah diri da pesimis pastinya akan timbul. Kita pun mengizinkan diri kita untuk menyalahkan keadaan atas hal yang sebetulnya bisa kita perjuangkan.

Hmm, kere dan aktif. Kedengaran bodoh, mungkin... Tapi gak ada salahnya kalau kita menggunakan analogi ini untuk jadi bahan perenungan. Harusnya bukan masalah, kan, berpikir dan berlaku sebagai orang yang kere dan aktif? Toh kita sendiri yang akan untung. Cukup rawat yang kita miliki, baik itu uang, alat, maupun kedudukan, kita harus mempertahankannya. Sudah seharusnya kita memaksimalkan fungsinya, menyadari keberadaannya, dan perbaiki--selagi bisa.

Minggu, 28 Desember 2014

Aku ingin Narnia dan Neverland-ku sendiri

Kemarin aku kembali menonton Narnia. Aku baru sadar kalau sebetulnya konsep dunia Narnia itu mirip dengan Neverland yang ada di Peter Pan. Waktu di Narnia juga Neverland berjalan begitu cepat bila dibandingkan dengan waktu di dunia nyata, dalam kasus dua film ini, di London. Bedanya kalau dalam Narnia waktu berjalan begitu cepat, sedangkan dalam Neverland waktu tidak pernah berjalan. Dengan kenyataan itu pun aku cukup yakin kalau sebenarnya dua dunia itu dimaksudkan sebagai dimensi lain yang dibentuk dari imajinasi tokoh-tokoh nyata di dalam film. Ketika mereka berimajinasi, mereka bisa menghabiskan sedikit saja waktu untuk sebuah petualangan yang panjang. Dalam imajinasi singkat mereka, beratus-ratus kisah bisa saja tercipta. Entah kisah yang mengambil waktu yang lama, atau kisah dengan waktu yang berjalan, dengan begitu semuanya akan selalu sama adanya.

Yang jelas kepada Narnia, aku sangat iri. Ketika Peter juga adik-adiknya berkelana ke Narnia mereka melalui petualangan yang begitu seru. Dengan khayalan tentang mahluk-mahluk yang unik serta misterius, juga kisah yang menggetarkan hati tentang persahabatan, kesetiaan, keberanian, dan lain sebagainya.

Narnia begitu memesona ku. Membuatku begitu iri karena aku tidak pernah mengkhayalkan sebuah kisah yang jelas yang akhirnya dapat selalu aku ingat. Aku selalu percaya dengan mahluk-mahluk fantasi, tapi bayangan mereka samar. Kadang aku menggambar mereka, tapi hanya dengan cara itu aku lebih mengingat mereka. Seiring dengan berjalannya waktu, hanya sedikit yang aku ingat. Aku pun merasa, sulit bagiku untuk kembali menemui mereka--imajiku selagi aku kecil.

Neverland, dunia yang tak mengenal waktu, lebih mudah untukku mengerti. Karena aku pun merasakannya. Dalam kasusku, aku sering sekali memimpikan diriku terbang, atau pun tinggal dalam asrama sebuah sekolah. Setiap kali aku bermimpi, semuanya sama. Tidak ada situasi yang berubah. Namun entah bagaimana, mereka berkesinambungan dengan mimpi-mimpi sebelumnya. Kadang aku benci sekali untuk terbangun. Aku benci mendapati kenyataan kalau aku tidak bisa terbang.

Terkadang aku pun memikirkan apa yang dipikirkan seorang filsuf Cina, Chuang Tzu. Ia berpikir, apakah dia Chuang Tzu yang bermimpi menjadi kupu-kupu? Ataukah dia kupu-kupu yang bermimpi menjadi Chuang Tzu? Sampai sekarang pun aku masih mencari jawabannya. Bagaimana pun, rasanya menyiksa terperangkap dalam tubuh manusia biasa ketika aku tau bagaimana rasanya terbang. Jadi, meskipun memang aku adalah manusia biasa yang bermimpi bisa terbang, aku akan selalu senang untuk mendapatkan mimpi itu kembali. Membayangkan diriku terbang.

Andai saja aku juga berimajinasi akan dunia sehebat Narnia, Mungkin semuanya akan lebih hebat. Namun kini aku sudah bertumbuh. Semakin banyak saja hal yang harus kuurusi. Semakin aku mencoba menghabiskan waktuku pada dunia khayal, aku akan berujung menyia-nyiakan waktuku yang bisa kuhabiskan untuk mengurusi hal-hal yang nyata di sekelilingku.

Aku benci kenyataan bahwa aku bukan lagi anak-anak. Aku ingkar pada janji yang aku buat bersama adik laki-lakiku juga teman-temanku. Aku sadar akan hal itu. Buktinya, kadang aku bahkan takut dengan apa yang kukhayalkan. Kadang aku mengatakan pada diriku sendiri bawa itu tidak nyata.

Lalu aku membaca buku dunia Sophie hari ini. Buku temanku yang sudah lebih dari satu semester aku pinjam dan belum selesai aku baca, haha. Novel filsafat ini mengahantarkanku pada para filsuf empirisme. Filsuf-filsuf dari Inggris. Aku pikir ini semakin menjatuhkanku bagaimana Locke dan Hume menegaskan bahwa sebagaimana prinsip empirisme, kita tidak bisa menilai segala sesuatu kalau tidak pernah mengalaminya secara indrawi. Ini menjatuhkan semangatku mengingat diriku sebagai seseorang yang bisa terbang bisa saja bukan bagian dari dunia material yang memiliki eksistensi yang nyata.

Lalu muncullah Barkeley. George Barkeley adalah seorang filsuf yang juga seorang uskup asal Irlandia. Dirinya berpendapat bahwa tidak ada yang namanya dunia material. Ia berpendapat bahwa semua yang kita nyatakan ada adalah sesuatu yang kita persepsikan dengan kesan-kesan yang muncul dari Roh yang diberikan Allah. Dengan demikian dunia material adalah sesuatu yang dibentuk dari idea. Barkeley juga mempertanyakan keberadaan mutlak ruang dan waktu. Sebab sebagaimana tokoh di dalam buku menjalani waktu yang berbeda dengan waktu yang dijalani sang penulis buku, waktu tidak bisa dipastikan eksistensi mutlaknya.

Pandangan empiris Barkeley yang menunjukn bawa koneksi kesan antar indra yang terhubung dengan pengaruh roh entah bagaimana begitu membangkitkan semangatku. Menunjukan bahwa keberadaanku sebagai manusiapun adalah sesuatu yang terbentuk dari idea, sebagaimana dengan yang ada dalam mimpiku. Lagipula aku bisa menilai sendiri bagaimana rasanya terbang menjadi begitu nyata ketika aku memimpikannya. Aku merasakan dinginnya angin berhembus, ketakutan jatuh dari ketinggian, dan aku mampu melihat visual dari atas gedung-gedung tinggi.

Mengkhayal pastilah menyatukan dimensi kita kepada dimensi yang lain. Mewujudkan eksistensi kita kepada wujud yang lain baik dengan kita sengaja atau pun tidak. Itu sebabnya aku ingi mampu membebaskan imajinasiku selebar mungkin.

Tidak sebagai Peter atau pun adik-adiknya di Narnia. Tidak juga sebagai Wendy di kisah Peter Pan. Aku ingin selalu mendapatkan duniaku sendiri dengan realitas-realitas baru yang mungkin saja kutemui selagi mengkhayal. Di situ mungkin saja aku dapat menemui suatu kebenaran dibalik selaput persepsi yang sudah melekat di otak. Mungkin juga inti dari masalah yang menjadi rahasia umum.

Seperti anak kecil, aku ingin membebaskan semua indraku untuk lebih lagi peka lagi merasakan semuanya. Lebih dan lebih lagi, bahkan bila dibandingkan dengan diriku sendiri semasa kecil.

Minggu, 17 November 2013

Menutup Telinga Bahkan Sebelum Selesai Pengantar

Siapa tidak kenal budaya lenong? Teater a la Betawi ini jelas kita kenal betul. Konsep Lenong bahkan marak pada program-program yang ditampilkan pada stasiun-stasiun televisi tanah air. Niatnya menghibur, tentunya, namun sayangnya budaya "main nyablak" yang biasa dilakukan penonton lenong pada para pemeran terbawa ke dalam kehidupan sehari-hari.

Hal ini terbukti beberapa minggu yang lalu ketika saya mengikuti kelas debat. Pembina kelas memberikan kita arahan untuk membuat set up kasus dimana kami harus menjadi tim kontra bagi program yang justru mendukung budaya ketimuran dan keagamaan masyarakat kita--masyarakat Indonesia. Memang itu bertabrakan dengan iman yang tertanam dalam benak kami, tapi itu adalah bagian dari proses pembelajaran. Penulis mengerti bagaimana pembina mencoba mengajak kami untuk menanggalkan eksklusifitas dan membuka pikiran kami, lagipula bukannya mustahil kami dihadapkan pada kasus ini dalam kompetisi debat suatu saat nanti. Sayangnya, tidak semua peserta kelas memahami maksud tersebut.

Banyak dari peserta kelas yang mengajukan pernyataan-pernyataan yang kesannya melawan namun masih dengan sopan. Parahnya, seorang peserta kelas menyemburkan perlawanan terang-terangan tanpa sopan santun sedikit pun. Tanpa meminta izin interupsi dan mengangkat tangan, begitu saja dia lontarkan kalimat perlawanan yang mengatasnamakan seluruh peserta serta secara tersirat menuduh bahwa si pembina menganut keyakinan yang bersebrangan dengan iman mau pun budaya kami. Setelah itu peserta lain pun ikut berkomentar berbarengan dengan maksud menyerang si pembina.

Hal ini sangat disayangkan karena jelas, cara tersebut sangatlah tidak pantas untuk dilakukan. Selain karena tidak sopan, perlakuan ini jelas menunjukan ketidakmampuan dalam menerima perbedaan. Pembina tersebut bahkan belum sempat menyampaikan pembenaran dan alasan dari tindakannya, namun begitu saja dia ditolak meski sebenarnya, dia berada disitu untuk membantu kami belajar. 

Bukan hanya di kelas tersebut saya menemukan tindakan semacam itu. Dalam pertemuan RT, seminar, dan banyak kesempatan saya dapati ada saja orang yang berkomentar tanpa berpikir terlebih dahulu. Kata-kata yang diterimanya ditelan mentah-mentah dan ditolak begitu saja sebelum mereka menemukan makna yang sesungguhnya. Tindakan tersebut pada akhirnya tidak merugikan nama satu pihak saja, tapi menurunkan kualitas dari pembicaraan yang tengah berlangsung.

Kita harus menerima kenyataan bahwa setiap orang memiliki kemampuan komunikasi berbeda-beda. Ada beberapa orang yang tidak mampu menjelaskan dengan baik pemikirannya dalam kata-kata, ada juga yang terlalu berbelit-belit. Siapa yang tahu orang itu masih memberi pengantar dan menyimpan isi serta kesimpulan dari pemikirannya belakangan? Itulah sebabnya, lebih baik kita menghargai siapa pun berbicara, mengutarakan maksudnya. Kalau ada yang kurang disetujui, klarifikasi terlebih dahulu. Jangan main sembur dengan konten yang menjatuhkan lawan bicara bahkan saat bukan waktunya untuk bicara.

Lenong adalah budaya yang baik jika dinikmati sebagai seni. Tapi alangkah baiknya dalam kehidupan nyata, kita lebih menghargai orang berbicara. Buka telinga, buka pikiran, cobalah tanggalkan eksklusifitas dan melihat dari sudut pandang orang itu. Bukankah dengan demikian kita akan mampu lebih bijaksana? Dalam berpikir dan mengambil keputusan kita akan mampu melibatkan perspektif yang berbeda.

Mari kita saling menghargai,

Gee ^ ^

*sebelumnya sudah pernah diposkan di www.speakuptime.blogspot.com

Jumat, 16 Agustus 2013

Bagimu (Anak) Negeri



Wew, sudah 68 tahun sejak proklamasi kemerdekaan Indonesia pertama dibacakan di depan umum. Sejak tadi saya merinding mendengar lagu Bagimu Negeri berkumandang selagi memandangi kibaran bendera merah putih di depan rumah, di lain sisi ini juga membuat saya merasa miris. Masih saja sering saya mendengar ungkapan-ungkapan seperti di bawah ini:

Waktu nonton film yang cinematography-nya keren dari luar negeri:
“Kapan ya Indonesia bisa kayak gitu? 50 tahun lagi juga belum tentu.”

Waktu baca berita:
“Payah banget sih politik negeri ini. Males juga ngedukungnya. Bisanya cuma korup.”

Waktu ngomongin cita-cita:
“Gua mah kalo udah sukses, punya banyak uang mau tinggal di luar negeri. Indonesia nggak maju-maju.”

Nahlo! Gimana mau merdeka kalau jalan pikir orang-orangnya kayak gitu? Memprihantinkan memang, tapi ini kenyataannya. Lebih banyak yang mempertanyakan “Apa yang bisa negara ini beri untuk saya?” daripada yang memikirkan ”Apa yang bisa saya beri untuk negara ini?”

Mimpi untuk menjadi hebat dan kaya bukan suatu hal yang salah. Tapi jangan juga mengejar kekayaan atas materi dan kekuasaan, melainkan karya. Ya, seharusnya kita juga berusaha untuk bisa kaya akan karya. Karya yang bukan hanya mampu menunjukan eksistensi diri namun juga membantu mengharumkan nama negeri ini.

Coba lihat prestasi yang diberikan teman-teman kita Juli lalu, di ajang Olimpiade Matematika Internasional ke-54 yang diadakan di Santa Marta, Kolombia, pada 18-27 Juli 2013. Stephen Sanjaya dan enam anak Indonesia lainnya berhasil membawa pulang dua medali emas dan empat medali perak. Tetapi bukan hanya mereka pahlawannya di sini, melainkan timpengajar mereka yang mampu membuat mereka seperti ini. Orang yang telah mengajarkan mereka bukan hanya berkarya untuk eksistensi diri, pengajarannya mampu mencerdaskan anak-anak ini dan membawa mereka mengaharumkan nama negara. Dengan demikian, karyanya mengkaryakan hal yang lainnya. Menjadi inspirasi bagi banyak anak lainnya.

Setiap dari kita memiliki bekal masing-masing. Mudahnya saja, bagi para kaum terpelajar, sebelum membuat terobosan baru yang besar untuk diterapkan, hendaknya terlebih dulu menerapkan apa yang telah dia pelajari dan mengajarkannya bagi orang disekitarnya yang mungkin kurang mengerti. Mulai dari mengajarkan adik mengerjakan PR-nya sampai membagikan ilmunya untuk memberdayakan Sumber Daya Manusia di sekitar. Kalau ada yang mau niat belajar, mbok ya dibantu, jangan diragukan atau diremehkan terlebih dahulu. Sudah saatnya para kaum terpelajar membukakan mata orang-orang yang belum sadar akan entingnya belajar. Bukan saja dengan demo, tapi mensosialisasikan issue-issue penting. Buat waktu yang kita habiskan untuk menimba ilmu berarti.

Bagi kita pemuda, sudah saatnya kita bekerja menciptakan dunia yang kita impikan. Muak dengan politisi yang korup, jadilah politisi berikutnya yang bersih. Kesel lihat film Indonesia yang gitu-gitu aja, ya pelajarilah bagaimana cara membuat yang lebih baik dan ciptakan. Merasa Indonesia gak maju-maju, ini tugaskita untuk memajukannya. Seperti Mathama Gandhi pernah berkata, Be the change we wish to see. Jangan menunggu Indonesia bisa ini dan itu untuk mencintai negeri sendiri. Kenalilah Indonesia lebih dekat lagi, jadilah bagian di dalamnya, bangunlah jiwanya bangunlah raganya untuk Indonesia raya. Sadarkan orang-orang disekitar kita betapa berharganya negeri ini dan buat mereka mencintainya.

Buat Dirgahayu Indonesia ke-68 ini sebagai titik tolak kita menuju Indonesia yang lebih baik. Optimis, bersama-sama kita lakukan gerakan pembangunan dari pribadi kita masing-masing. Kita pribadi yang merdeka dari stereotape kebobrokan Indonesia mampu membuktikan bahwa kita lebih baik.

Buat Indonesia merdeka,

GemmaGYH^ ^

Rabu, 17 Juli 2013

Syarat Baku Dalam Bermimpi

     Saya baru saja menonton sebuah film dengan banyak filosofi bagus yang terkandung dalam dialog-dialog\nya. Ceritanya sendiri bahkan menyiratkan pelajaran-pelajaran yang berharga. Saat awal film, terlihat bahwa fokus utama terletak pada seorang jago pedang bernama Lancelot. Semakin lama film berjalan, muncullah tokoh pria mencolok lainnya, yakni King Arthur. Seorang raja bijak yang memimpin kerajaan besar dengan hukumnya yang adil dan penuh cinta kasih.Film tersebut adalah First Knight.
     Dari begitu banyaknya dialog bermakna di dalam film tersebut, saya mengutip sebuah dialog singkat dari King Arthur yang begitu saya sukai,
"Only a fool wants what he can not have."
Atau dalam bahasa bisa diartikan menjadi: 
"Hanya orang bodoh yang menginginkan hal yang tidak bisa mereka miliki."
Mungkin kalimat yang terucap dari tokoh raja bijaksana tersebut tedengar biasa atau justru terdengar begitu kasar, seperti kata-kata orang dewasa yang dengan mudahnya membunuh mimpi seorang anak kecil. Tapi saya yakin  bukan itu yang sesungguhnya terkandung di dalam kutipan tersebut. Menonton film ini disertai sebuah perenungan sederhana membuat saya berpikir, ada benarnya juga perkataannya. Memang hanya orang bodoh saja yang menginginkan sesuatu yang tidak bisa dimilikinya.
     Lalu apakah anda beranggapan saya adalah seorang pesimis? Saya harap tidak. 
     Apakah anda menganggap saya seorang yang terlalu realistis? Saya justru menganggap diri saya lebih kepada idealis.
     Lantas apa yang membuat saya berpikir demikian? Begini logikanya. Untuk apa kita menginginkan sesuatu yang menurut kita tak mungkin dicapai? Toh sejak awal kita menganggap itu sebagai suatu hal yang tidak mungkin. Iya, kan?

Lalu apa solusinya? Sederhana saja. Inginkan hal yang bisa kau miliki dan miliki apa yang kau inginkan. Titik.


     Maksud saya dengan "inginkan hal yang bisa kau miliki" di sini bukanlah untuk memupuskan mimpi-mimpi tinggi kita sebelumnya. Saya tidak bilang bahwa mimpi yang hebat tidak bisa kita miliki. Nilai mimpi kita itu terletak bukan pada besarnya, bukan pada sulitnya, intinya itu bukan pada segala faktor yang di luar diri kita; melainkan ada pada pemikiran kita sendiri. Saya ingin kita meyakini apa yang sudah kita impikan itu. Jika kita sudah yakin benar bahwa kita bisa memilikinya, maka segalanya akan lebih mudah kita gapai. Segala rintangan akan selalu dibarengi dengan jalan yang baru.

     Selain itu, hey! Jangan lupa inginkan dulu apa yang sudah kamu miliki sebelumnya. Seseorang tidak akan bisa menghargai sesuatu yang belum dia raih jika sesuatu yang sudah diraihnya saja tidak dia pedulikan. Sadarilah apa yang telah kau miliki, jadikanlah ia berguna, dan hargailah dia dengan bersyukur.
     Dan selanjutnya, maksud saya dengan "milikilah hal yang kau inginkan" adalah dengan terus memegangnya teguh di dalam hati dan pikiran kita supaya kita dapat termotvasi setiap menemukan kesulitan dalam menghadapinya. Dengan terus mencamkannya dalam perasaan dan pikiran kita, mimpi tersebut akan hidup di dalam kita.

Sejatinya mimpi sendiri adalah gairah hidup. Mimpi--baik ketika kita tidur maupun di saat kita membuka mata--mampu memberikan opsi baru terhadap masa depan kita. Teruslah bermimpi wahai pemimpi, selama kita tidak lupa untuk mewujudkannya. Ada waktunya kita harus bertindak, bukan hanya hidup dalam lamunan


Jangan lupa untuk terbangun,


GemmaGYH^ ^