Minggu, 17 November 2013

Menutup Telinga Bahkan Sebelum Selesai Pengantar

Siapa tidak kenal budaya lenong? Teater a la Betawi ini jelas kita kenal betul. Konsep Lenong bahkan marak pada program-program yang ditampilkan pada stasiun-stasiun televisi tanah air. Niatnya menghibur, tentunya, namun sayangnya budaya "main nyablak" yang biasa dilakukan penonton lenong pada para pemeran terbawa ke dalam kehidupan sehari-hari.

Hal ini terbukti beberapa minggu yang lalu ketika saya mengikuti kelas debat. Pembina kelas memberikan kita arahan untuk membuat set up kasus dimana kami harus menjadi tim kontra bagi program yang justru mendukung budaya ketimuran dan keagamaan masyarakat kita--masyarakat Indonesia. Memang itu bertabrakan dengan iman yang tertanam dalam benak kami, tapi itu adalah bagian dari proses pembelajaran. Penulis mengerti bagaimana pembina mencoba mengajak kami untuk menanggalkan eksklusifitas dan membuka pikiran kami, lagipula bukannya mustahil kami dihadapkan pada kasus ini dalam kompetisi debat suatu saat nanti. Sayangnya, tidak semua peserta kelas memahami maksud tersebut.

Banyak dari peserta kelas yang mengajukan pernyataan-pernyataan yang kesannya melawan namun masih dengan sopan. Parahnya, seorang peserta kelas menyemburkan perlawanan terang-terangan tanpa sopan santun sedikit pun. Tanpa meminta izin interupsi dan mengangkat tangan, begitu saja dia lontarkan kalimat perlawanan yang mengatasnamakan seluruh peserta serta secara tersirat menuduh bahwa si pembina menganut keyakinan yang bersebrangan dengan iman mau pun budaya kami. Setelah itu peserta lain pun ikut berkomentar berbarengan dengan maksud menyerang si pembina.

Hal ini sangat disayangkan karena jelas, cara tersebut sangatlah tidak pantas untuk dilakukan. Selain karena tidak sopan, perlakuan ini jelas menunjukan ketidakmampuan dalam menerima perbedaan. Pembina tersebut bahkan belum sempat menyampaikan pembenaran dan alasan dari tindakannya, namun begitu saja dia ditolak meski sebenarnya, dia berada disitu untuk membantu kami belajar. 

Bukan hanya di kelas tersebut saya menemukan tindakan semacam itu. Dalam pertemuan RT, seminar, dan banyak kesempatan saya dapati ada saja orang yang berkomentar tanpa berpikir terlebih dahulu. Kata-kata yang diterimanya ditelan mentah-mentah dan ditolak begitu saja sebelum mereka menemukan makna yang sesungguhnya. Tindakan tersebut pada akhirnya tidak merugikan nama satu pihak saja, tapi menurunkan kualitas dari pembicaraan yang tengah berlangsung.

Kita harus menerima kenyataan bahwa setiap orang memiliki kemampuan komunikasi berbeda-beda. Ada beberapa orang yang tidak mampu menjelaskan dengan baik pemikirannya dalam kata-kata, ada juga yang terlalu berbelit-belit. Siapa yang tahu orang itu masih memberi pengantar dan menyimpan isi serta kesimpulan dari pemikirannya belakangan? Itulah sebabnya, lebih baik kita menghargai siapa pun berbicara, mengutarakan maksudnya. Kalau ada yang kurang disetujui, klarifikasi terlebih dahulu. Jangan main sembur dengan konten yang menjatuhkan lawan bicara bahkan saat bukan waktunya untuk bicara.

Lenong adalah budaya yang baik jika dinikmati sebagai seni. Tapi alangkah baiknya dalam kehidupan nyata, kita lebih menghargai orang berbicara. Buka telinga, buka pikiran, cobalah tanggalkan eksklusifitas dan melihat dari sudut pandang orang itu. Bukankah dengan demikian kita akan mampu lebih bijaksana? Dalam berpikir dan mengambil keputusan kita akan mampu melibatkan perspektif yang berbeda.

Mari kita saling menghargai,

Gee ^ ^

*sebelumnya sudah pernah diposkan di www.speakuptime.blogspot.com