Selasa, 30 Desember 2014

KREATIF > Kere dan Aktif

Mama emang selalu ada-ada aja. Berhubung masa mudanya yang dilalui di kota gaul, kota Jekardah tercinta ini, mama selalu aja tau bahasa slang yang dia tau. Entah itu slang tingkat nasional atau pun lokal. Hahaha... Gak cuma kata-kata slang, mama--papa juga, sih--suka banget mencari-cari atau mengingat kepanjangan yang kira-kira adalah asal sebuah kata, salah satunya kata "kreatif".

Kreatif, berdasarkan KBBI kata ini:
kreatif /kre·a·tif/ /krĂ©atif/ a 1 memiliki daya cipta; memiliki kemampuan untuk menciptakan; 2 bersifat (mengandung) daya cipta: pekerjaan yg -- menghendaki kecerdasan dan imajinasi;

Memaaang, definisi dari terminologi "kreatif" sendiri sesuai dengan penjabaran di KBBI, tapi... Mama dengan pemikiran cerdasnya memegang penglihatan lebih tentang kata ini. Singkatnya, entah dari orang lain maupun dirinya sendiri, penafsiran itu bisa dirangkum dengan analogi "Kere dan Aktif" yang baginya bisa saja kepanjangan dan asal kata dari kata "kreatif" itu sendiri.

Kenapa Kere dan Aktif? Kere yang biasa kita tau sebagai bahasa lain miskin gak cuma ditujukan bagi orang yang gak punya uang, melainkan orang dengan keterbatasan. Mereka yang memiliki keterbatasan dalam suatu hal pastinya akan sulit dalam memenuhi beberapa hal yang diinginkannya. Itu bisa aja diatasi selama orang tersebut mau secara aktif mencari jalan keluarnya. Dengan begitu, dia melakukan tindakan aktifnya sebagai orang kere yang biasa kita sebut sebagai tindakan kreatif. Adapun pemikiran yang juga muncul dari keinginan orang yang ingin aktif menangani keterbatasan atau kekereannya disebut sebagai pemikiran kreatif.

Analogi yang aku sering dengar sejak kecil pun membuatku selalu ingat satu hal, keterbatasan harusnya mengasah. Ya, mengasah pemikiran kita untuk mampu berpikir dan berlaku dengan cara yang berbeda. Dengan punya analogi kere dan aktif ini pun aku benar-benar optimis menghadapi segala keterbatasan yang ada padaku terutama ketika itu dihadapkan pada keinginanku mendapatkan sesuatu.

Kuncinya memaksimalkan segala yang dimiliki. Biasanya mereka yang sadar mereka memiliki sedikit hal akan lebih peduli lagi dengan apa yang dimilikinya itu, entah bentuknya materi atau bukan, dia pasti akan berusaha selalu menjaganya. Orang itu tau kalau dirinya akan lebih sering menggunakannya ketimbang orang lain, memaksimalkan fungsi yang ada sehingga bisa dipakainya untuk mendapatkan hal yang dia inginkan.

Semuanya hanya bisa dilakukan kalau kita menyadari dan menerima keterbatasan kita dan rela aktif untuk tetap bisa mendapatkan hal yang setara seperti yang orang lain dapatkan. Percuma, kan, kalau kita kere tapi gak sadar diri. Yang ada akan selalu mengeluh minta ini dan itu. Alhasil, kita pun jadi abai sama apa yang sudah kita punya, mengandalkan sesuatu yang belum kita miliki. Tapi sama saja hasilnya kalau kita sadar kita kere, tapi tidak mau aktif. Perasaan rendah diri da pesimis pastinya akan timbul. Kita pun mengizinkan diri kita untuk menyalahkan keadaan atas hal yang sebetulnya bisa kita perjuangkan.

Hmm, kere dan aktif. Kedengaran bodoh, mungkin... Tapi gak ada salahnya kalau kita menggunakan analogi ini untuk jadi bahan perenungan. Harusnya bukan masalah, kan, berpikir dan berlaku sebagai orang yang kere dan aktif? Toh kita sendiri yang akan untung. Cukup rawat yang kita miliki, baik itu uang, alat, maupun kedudukan, kita harus mempertahankannya. Sudah seharusnya kita memaksimalkan fungsinya, menyadari keberadaannya, dan perbaiki--selagi bisa.

Minggu, 28 Desember 2014

Aku ingin Narnia dan Neverland-ku sendiri

Kemarin aku kembali menonton Narnia. Aku baru sadar kalau sebetulnya konsep dunia Narnia itu mirip dengan Neverland yang ada di Peter Pan. Waktu di Narnia juga Neverland berjalan begitu cepat bila dibandingkan dengan waktu di dunia nyata, dalam kasus dua film ini, di London. Bedanya kalau dalam Narnia waktu berjalan begitu cepat, sedangkan dalam Neverland waktu tidak pernah berjalan. Dengan kenyataan itu pun aku cukup yakin kalau sebenarnya dua dunia itu dimaksudkan sebagai dimensi lain yang dibentuk dari imajinasi tokoh-tokoh nyata di dalam film. Ketika mereka berimajinasi, mereka bisa menghabiskan sedikit saja waktu untuk sebuah petualangan yang panjang. Dalam imajinasi singkat mereka, beratus-ratus kisah bisa saja tercipta. Entah kisah yang mengambil waktu yang lama, atau kisah dengan waktu yang berjalan, dengan begitu semuanya akan selalu sama adanya.

Yang jelas kepada Narnia, aku sangat iri. Ketika Peter juga adik-adiknya berkelana ke Narnia mereka melalui petualangan yang begitu seru. Dengan khayalan tentang mahluk-mahluk yang unik serta misterius, juga kisah yang menggetarkan hati tentang persahabatan, kesetiaan, keberanian, dan lain sebagainya.

Narnia begitu memesona ku. Membuatku begitu iri karena aku tidak pernah mengkhayalkan sebuah kisah yang jelas yang akhirnya dapat selalu aku ingat. Aku selalu percaya dengan mahluk-mahluk fantasi, tapi bayangan mereka samar. Kadang aku menggambar mereka, tapi hanya dengan cara itu aku lebih mengingat mereka. Seiring dengan berjalannya waktu, hanya sedikit yang aku ingat. Aku pun merasa, sulit bagiku untuk kembali menemui mereka--imajiku selagi aku kecil.

Neverland, dunia yang tak mengenal waktu, lebih mudah untukku mengerti. Karena aku pun merasakannya. Dalam kasusku, aku sering sekali memimpikan diriku terbang, atau pun tinggal dalam asrama sebuah sekolah. Setiap kali aku bermimpi, semuanya sama. Tidak ada situasi yang berubah. Namun entah bagaimana, mereka berkesinambungan dengan mimpi-mimpi sebelumnya. Kadang aku benci sekali untuk terbangun. Aku benci mendapati kenyataan kalau aku tidak bisa terbang.

Terkadang aku pun memikirkan apa yang dipikirkan seorang filsuf Cina, Chuang Tzu. Ia berpikir, apakah dia Chuang Tzu yang bermimpi menjadi kupu-kupu? Ataukah dia kupu-kupu yang bermimpi menjadi Chuang Tzu? Sampai sekarang pun aku masih mencari jawabannya. Bagaimana pun, rasanya menyiksa terperangkap dalam tubuh manusia biasa ketika aku tau bagaimana rasanya terbang. Jadi, meskipun memang aku adalah manusia biasa yang bermimpi bisa terbang, aku akan selalu senang untuk mendapatkan mimpi itu kembali. Membayangkan diriku terbang.

Andai saja aku juga berimajinasi akan dunia sehebat Narnia, Mungkin semuanya akan lebih hebat. Namun kini aku sudah bertumbuh. Semakin banyak saja hal yang harus kuurusi. Semakin aku mencoba menghabiskan waktuku pada dunia khayal, aku akan berujung menyia-nyiakan waktuku yang bisa kuhabiskan untuk mengurusi hal-hal yang nyata di sekelilingku.

Aku benci kenyataan bahwa aku bukan lagi anak-anak. Aku ingkar pada janji yang aku buat bersama adik laki-lakiku juga teman-temanku. Aku sadar akan hal itu. Buktinya, kadang aku bahkan takut dengan apa yang kukhayalkan. Kadang aku mengatakan pada diriku sendiri bawa itu tidak nyata.

Lalu aku membaca buku dunia Sophie hari ini. Buku temanku yang sudah lebih dari satu semester aku pinjam dan belum selesai aku baca, haha. Novel filsafat ini mengahantarkanku pada para filsuf empirisme. Filsuf-filsuf dari Inggris. Aku pikir ini semakin menjatuhkanku bagaimana Locke dan Hume menegaskan bahwa sebagaimana prinsip empirisme, kita tidak bisa menilai segala sesuatu kalau tidak pernah mengalaminya secara indrawi. Ini menjatuhkan semangatku mengingat diriku sebagai seseorang yang bisa terbang bisa saja bukan bagian dari dunia material yang memiliki eksistensi yang nyata.

Lalu muncullah Barkeley. George Barkeley adalah seorang filsuf yang juga seorang uskup asal Irlandia. Dirinya berpendapat bahwa tidak ada yang namanya dunia material. Ia berpendapat bahwa semua yang kita nyatakan ada adalah sesuatu yang kita persepsikan dengan kesan-kesan yang muncul dari Roh yang diberikan Allah. Dengan demikian dunia material adalah sesuatu yang dibentuk dari idea. Barkeley juga mempertanyakan keberadaan mutlak ruang dan waktu. Sebab sebagaimana tokoh di dalam buku menjalani waktu yang berbeda dengan waktu yang dijalani sang penulis buku, waktu tidak bisa dipastikan eksistensi mutlaknya.

Pandangan empiris Barkeley yang menunjukn bawa koneksi kesan antar indra yang terhubung dengan pengaruh roh entah bagaimana begitu membangkitkan semangatku. Menunjukan bahwa keberadaanku sebagai manusiapun adalah sesuatu yang terbentuk dari idea, sebagaimana dengan yang ada dalam mimpiku. Lagipula aku bisa menilai sendiri bagaimana rasanya terbang menjadi begitu nyata ketika aku memimpikannya. Aku merasakan dinginnya angin berhembus, ketakutan jatuh dari ketinggian, dan aku mampu melihat visual dari atas gedung-gedung tinggi.

Mengkhayal pastilah menyatukan dimensi kita kepada dimensi yang lain. Mewujudkan eksistensi kita kepada wujud yang lain baik dengan kita sengaja atau pun tidak. Itu sebabnya aku ingi mampu membebaskan imajinasiku selebar mungkin.

Tidak sebagai Peter atau pun adik-adiknya di Narnia. Tidak juga sebagai Wendy di kisah Peter Pan. Aku ingin selalu mendapatkan duniaku sendiri dengan realitas-realitas baru yang mungkin saja kutemui selagi mengkhayal. Di situ mungkin saja aku dapat menemui suatu kebenaran dibalik selaput persepsi yang sudah melekat di otak. Mungkin juga inti dari masalah yang menjadi rahasia umum.

Seperti anak kecil, aku ingin membebaskan semua indraku untuk lebih lagi peka lagi merasakan semuanya. Lebih dan lebih lagi, bahkan bila dibandingkan dengan diriku sendiri semasa kecil.