Rabu, 26 Juni 2013

Tentang Puisi


Aku memilkki kekuatanku sendiri
Menciptakan teman yang mampu mengerti
Menelisik rahasia-rahasia di hati

Teman itu sungguh istimewa
Kunamai dia puisi

Puisi empunya semuanya
Menyuratkan yang tersirat
Menyuarakan yang terbungkam
Dari segala indra yang kumiliki
Atau sekedar opini pribadi

Puisi tak mampu berkata bohong
Karena ia pun takkan tercipta
Jikalau bukan dari hati yang jujur

Puisi tak butuh menggali emosi
Cukup berkaca pada nurani
Karena kepada jiwa dia miliki koneksi

Puisi mengisahkan imaji
Dengan imaji lainnya
Dirinya tak perlu merinci
Dengannya cukup jelas semuanya

Dan saat ini aku di sini
Bercerita tentang puisi
Mungkin juga menciptanya
Tuk yang kesekian kali
Namun yang kulakukan ini
Terlebih tuk berterima kasih

Tak peduli bagaimana jadinya dirimu
Niscaya selalu mewujudkan aku

-Gee 26/7-13

Ditulis dalam rangka Hari Puisi Indonesia 
Selamat Hari Puisi!^ ^

Minggu, 23 Juni 2013

Berawal dari Krisis Identitas Menuju Pembentukan Diri


“Aku bukan nasionalis, bukan katolik, bukan sosialis. Aku bukan Buddha, bukan protestan, bukan westernis. Aku bukan komunis. Aku bukan humanis. Aku adalah semuanya. Mudah-mudahan inilah yang disebut muslim. Aku ingin bahwa orang memandang dan menilaiku sebagai suatu kemutlakan (absolute entity) tanpa menghubung-hubungkan dari kelompok mana saya termasuk serta dari aliran apa saya berangkat.”   –Ahmad Wahib, Pergolakan Pemikiran Islam, Catatan Harian (Jakarta: LP3ES, 1982), Cetakan 42 hal. 46.
“Aku bukan wahib. Aku adalah me-Wahib. Aku mencari, dan terus menerus mencari, menuju dan menjadi Wahib. Ya, aku bukan aku. Aku adalah meng-aku, yang terus menerus berproses menjadi aku.” –Ibid, hal. 55.
Dua kutipan Wahib di atas hanyalah sekian dari banyaknya runcing bambu yang menyadarkan saya atas salah satu permasalahan di era kita ini. Buku Soe Hok Gie: Catatan Harian Seorang Demonstran ini memberi saya begitu banyak filosofi yang menghibur diri yang terkadang merasa sepi dan sendiri di tengah perbedaan yang ada di tengah masyarakat. Kita bangsa Indonesia, pada hakikatnya terbentuk dari berbagai macam suku bangsa, agama, pulau, dan kebudayaan. Tentu bukan hal yang jarang jika kita merasa berbeda dan merasa itu menyulitkan.
Wahib dan Soe Hok Gie dalam sosok yang saya baca memberikan sebuah pandangan yang luas akan pribadi. Kita adalah seseorang yang independen. Sebagai mahluk sosial, tentu kita membutuhkan orang lain dimana di dalam hidup ini menjadi bagian dari komunitas, golongan, mau pun kelompok yang kita dapatkan baik sejak kita lahir mau pun saat kita bertumbuh kembang. Lantas apakah kita harus menyamakan diri menjadi komunitas, kelompok, atau pun golongan tempat kita bersarang?
Sulit untuk menjawabnya dengan ya atau tidak. Tapi yang saya maknai sejauh ini, kita merupakan bagian dari golongan dan golongan merupakan bagian dari kita namun perbedaannya adalah, ya, kita dapat menjadi citra bagi golongan kita dan kita mampu mengubah entah sedikit atau banyak aspek-aspek dalam golongan kita. Tapi golongan kita tidak akan bisa mempengaruhi kita. Karena sebagai mana Soe Hok Gie menganggap dirinya sebagai orang merdeka, kita juga demikian.  Manusia sudah seharusnya mengalami banyak hal, bisa saja hal itu sama antara satu orang dengan orang yang lainnya, tapi hal-hal itu hanya akan menjadi faktor eksternal yang tentu saja bukan menjadi pengaruh satu-satunya. Masih ada faktor dari dalam/internal yang mempengaruhi seseorang dalam melakukan, memikirkan, dan mengatakan apapun yang dikehendakinya.
Saya sendiri adalah seorang berdarah Jawa, lahir di Jakarta, menghabiskan masa kecil di Bekasi, beranjak dewasa di Bandung, dan menempuh pendidikan serius pertama saya (SMK) di Surabaya. Itulah sebabnya “The Jak”, “Viking”, serta “Bonek” tak bisa luput dari pemikiran konyol saya seputar krisis identitas yang saya alami. Tapi setelah saya dewasa (setidaknya sebentar lagi umur saya 18 tahun :P ), itu bukan lagi pertanyaan penting. Saya hanyalah seorang Indonesia, dengan kenyataan di atas, dan bagian dari dunia ini yang memiliki pemikiran, tindakan, dan cara bicara saya sendiri meskipun pada kenyataannya sastra yang saya baca, tokoh yang saya suka, musik yang saya dengar, dan berbagai aspek yang ada dalam pertumbuhan saya tak pernah berhenti merayap masuk dan mempengaruhi pandangan saya terhadap sesuatu.
Saya masih dalam proses. I am someone I want to be. Pada akhirnya pun, tidak semua dari aspek-aspek itu saya sukai. Tidak semua aturan dari komunitas, kelompok, maupun golongan yang saya anut saya jadikan pedoman hidup.
Seperti Wahib berkata, “Ya, aku bukan aku. Aku adalah meng-aku, yang terus menerus berproses menjadi aku.” Saya selamanya akan terus memilah apa yang terbaik untuk diri saya. Sebab dunia ini dinamis, maka kita juga diharapkan menjadi dinamis. Prinsip yang statis harusnya diiringi dengan pengembangan ide yang lebih fleksibel.
Saya tidak akan menjadikan suku, agama, latar belakang ekonomi, serta segala faktor yang berada diluar intisari diri saya sendiri sebagai alasan yang menghalangi saya dalam berkembang dan berkreasi, seperti Gie berkata:
“Aku mengetahui tadi. Tapi aku juga menunjukkan bahwa tidak semua begitu dan itu dapat berubah. Kepribadian bangsa bagiku adalah suatu proses yang lama dalam situasi tertentu, tapi dalam situasi lain itu dapat berubah.” –Soe Hok Gie, Catatan Harian Seorang Demonstran, 12 April 1966.
Dia tidak mau membiarkan dirinya sendiri menjadi seorang Tionghoa yang menurut orang-orang sebagai materialis, pengkhianat, dan sebagainya. Begitu pun seharusnya kita bersikap. Sangat tolol jika kita menjadikan stereotip atas kita sebagai suatu pembenaran atas keadaan atau tindakan kita yang sifatnya negatif.
Saat ini semakin banyak perbedaan yang ada di sekitar kita, tapi kenapa semakin banyak kelompok-kelompok yang mengasingkan diri karena perbedaan yang ada, dan parahnya lagi, bersaing menjadi yang teratas di antara yang lainnya. Setiap orang dari berbagai latar belakang berbeda, sudah sepatutnya berkembang bersama-sama. Kita memiliki hak yang sama untuk maju.
Jika kita semua di sini sudah setuju untuk menjadi diri kita sendiri tanpa terikat status kita, hendaknya kita juga menghargai orang-orang lainnya. Berhenti menilai orang berdasarkan stereotip yang sering berkumandang di sekitar kita. Tidak semua orang Jogja baik, tidak semua orang Jakarta tak peduli, dan tidak semua orang Batak kasar. Kita semua memiliki rasa dan akal budi untuk memilih dan membuat kita sebagai pribadi yang unik dan berbeda satu sama lain. Beri kesempatan bagi siapa pun untuk menjadi yang pribadi terbaik atas dirinya sendiri.
Ayo bersama-sama kita wujudkan kesejahteraan di negeri ini dan bangun Indonesia sebagai negara multikultural! Siap berkomitmen?

Salam pemudi Indonesia,



Gee ^ ^”

*sebelunya sudah pernah di poskan pada www.speakuptime.blogspot.com

Minggu, 02 Juni 2013

Why Must Original?

Have you ever think about it before?
     Sekedar denger “Stop Bajakan!” dan “Belilah Produk Yang Asli!” sih pasti sering, lah, kita. Tapi pernah gak sih kita benar-benar memikirkan tentang sebabnya? Tentang kenapa sih kita harus beli yang asli bukan yang bajakan—atau yang dalam beberapa produk disebut KW(KW super=kualitas super, dll…)?
     Begini menurut saya, pertama, produk yang asli mengandung nilai seni. Gimana gak memiliki nilai seni lebih? Produk asli adalah pelopornya. Kalo banyak orang sampai buat bajakannya, itu pasti karena produk aslinya memukau, iya dong? Apalagi buat produk yang udah punya nama. Pasti ada yang lebih dari produk ini sampai si pembuatnya yakin sama potensi produk. Jadi jelas, produk yang asli pasti kualitasnya terjamin.
     Kedua, barang yang asli lebih tahan lama. Karena kualitas yang lebih tinggi ini, produk cenderung lebih awet. Pikir deh, daripada kita beli yang murah tapi baru sebentar rusak, lebih baik beli satu yang asli buat waktu yang lama, kan? Kalau dihitung-hitung, sebenarnya cermat membeli produk asli membuat kita bisa lebih hemat.
     Ketiga, dengan stop membeli bajakan, kita turut mendukung perkembangan kreatifitas bangsa. Yup. Peran kita sampai sebesar itu, loh, dalam menurunkan standar kreatifitas bangsa. Karena taukah kamu hey para pembeli bajakan (ini termasuk nunjuk diri sendiri, kok), ternyata kita yang memiliki peran paing tinggi dalam pembajakan yang terjadi. Ternyata banyak survey menyatakan, inovasi untuk membajak suatu karya/produk biasanya datang bukan dari si produsen bajakan, melainkan dari banyaknya permintaan pasar. Ya, dari kita-kita yang mau punya barang kece tanpa harus bayar selayaknya itu patut dihargai.
     Setiap barang punya harga dari brand mereka, nantinya kita pun akan turut serta dalam mendukung keberadaan dari brand itu jika kita beli yang asli. Contoh paling konkret adalah musik. Sadarr, kan, kalau musik yang terkenal di Indonesia cenderung itu-itu saja? Itu karena label musik mereka mengikuti trend pasar. Sebenarnya banyak kok musisi Indonesia yang berkarya dengan bagusnya disertai ide-ide orisinil mereka dan “bebas” serta tidak terpengaruh. Lalu kenapa musisi-musisi seperti itu tidak bisa berkembang dan cepat hilang dari industry musik Indonesia? Karena tidak banyak yang membeli CD asli mereka melainkan hanya bajakannya saja. Bagaimana bisa terus berkarya kalau tidak ada penghasilannya? Dengan membeli sau produk asli, kita sudah mengapresiasi penciptanya, pengrajin yang membuatnya, marketing b yang sudah mengeluarkan berbagai macam cara untuk mengiklankan produknya, serta semua orang yang terlibat di balik brand dari produk tersebut—begitu pun dalam membeli CD, kita mendukung musisinya untuk berkarya.
     Nah, sekarang kita tau, kan betapa pentingnya membeli produk asli atau original? Di luar itu semua, kita menyumbang banyak hal baik kok dengan membeli atau menggunakan produk atau sesuatu yang original. Lagipula, percaya deh, taste yang dikasih ga akan bohong. Sebagus apa pun tiruan itu, harga yang kita bayar adalah yang kita dapat. Kalau kita belum mampu membelinya, ya nabung dulu. Kalau memang tidak mampu, ya berkaca diri, pakailah atau gunakan sesuatu yang memang sepantasnya kamu bisa miliki. Act as yourself by wearing things that suit you the best.
      Masih ngotot mau beli yang bajakan? Terserah, sih.. Cuma tanya deh sama diri kamu sendiri, kenapa harus beli bajakannya brand ternama? Karena fungsi? Kan masih ada barang lain dengan harga yang lebih murah dan “asli” untuk. Karena nama? Ayolah, apa gunanya nama brand terkenal tapi palsu. It’s more embarrassing. Bayangkan kamu jadi CEO dari brand tersebut, apa gak sedih dibajak? So, think wisely before you buy product you want.

Because I care,

GemmaGYH^ ^